Seorang wartawan senior yang pernah meliput kegiatan Presiden Soeharto di era 1980-an, hanya bisa geleng-geleng kepala ketika mendengar Presiden SBY dilecehkan.
Bayangkan, kata sang jurnalis! Seorang Kepala Negara/Kepala Pemerintahan yang dipilih langsung oleh mayoritas penduduk Indonesia, dengan entengnya disamakan atau dilecehkan seperti rakyat biasa yang tidak punya legitimasi kekuatan apalagi kekuasaan.
Sementara yang melakukan pelecehan adalah rakyat biasa yang tidak punya legitimasi setara dengan sang Presiden. Jabatan Presiden yang semestinya sakral karena dilindungi konstitusi, menjadi sejajar dengan jabatan pemimpin di sebuah desa.
Hanya saja karena si rakyat biasa memiliki keberanian dan kenekadan, kemudian mengklaim sebagai pemimpin atau tokoh masyarakat, maka jadilah si rakyat jelata bagaikan seorang tokoh bangsa yang memiliki kredibilitas dan akuntabilitas. Padahal keberanian dan kenekadan itu tak lebih dari sebuah sikap gertak sambal.
Terakhir yang melecehkan Presiden SBY adalah Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Riziek. Habib yang suka menggunakan baju khas dari Timur Tengah ini menyebut Presiden SBY seorang pecundang.
Habib Riziek bukan satu-satunya pemimpin organisasi massa yang melakukan hal serupa. Tetapi pelecehan Riziek menjadi semacam anti-klimaks sebab setelah itu SBY tidak lagi melayaninya. Hanya orang-orang sekitar SBY yang meladeni Habib Riziek yaitu Menko Polkam dan Sekretaris Kabinet.
Sekalipun sudah mencapai anti-kilmaksnya, tetapi pelecehan terhadap SBY sepertinya tak akan berhenti. Sebab para pelaku pelecehan seperti mendapat amunisi dan enerji baru. Mereka menlai Presiden SBY tidak punya keberanian. SBY tidak seperti yang dimiliki pendahulunya, khususnya Jenderal Soeharto. Hal mana membuat banyak kalangan mulai menarik kesimpulan, kewibawaan SBY sebagai Presiden atau pemimpin nasional telah tergerogoti.
Parahnya lagi, ketika Presiden SBY berusaha menetralisir situasi akibat terjadinya "perang pernyataan", SBY tidak bisa "memenangkan perang" tersebut. SBY terus saja menjadi seorang pecundang.
Sekalipun tidak bisa disebut, SBY sering menjadi "bulan-bulanan" oleh para pelaku pelecehan, tetapi nyata sekali Presiden ke-6 Republik Indonesia ini seperti bukan seorang eks tentara apalagi jenderal bintang empat.
Lazimnya seorang eks militer, bila ada yang berani melecehkannya, ia akan melakukan perlawanan. Seorang jenderal seperti SBY lazimnya tak akan bisa menerima apabila harga dirinya diinjak-injak.
Bagi sang jurnalis tadi, apapun alasannya, pelecehan terhadap seorang Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, merupakan sebuah pengingkaran atas budaya santun dan kekeluargaan dari bangsa Indonesia.
Berbagai literatur maupun penilaian umum tentang Indonesia selalu mengklaim bahwa Indonesia berisikan kelompok masyarakat yang berbudaya tinggi. Salah satu cirinya adalah ketaatan dalam soal saling menghargai antar sesama.
Tutur kata dan sapaan orang Indonesia selalu santun. Ditambah lagi Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk yang taat beragama, serta sikap manusia Indonesia selalu mencerminkan sosok yang mengedepankan kedamaian dan ketentraman.
Adanya pelecehan terhadap SBY yang makin tinggi intensitasnya, membuat sang jurnalis teringat pada masa-masa kepemimpinan Jenderal Soeharto (1966-1998). "Di era Pak Harto, keadaan seperti ini tidak mungkin bisa terjadi...," tutur sang wartawan dalam sebuah percakapan antar sahabat.
Diakuinya, di era Soeharto kontrol pemerintah terhadap rakyat sangat ketat. Militer yang menjadi alat "pemukul" Presiden Soeharto, ikut menjadi pihak pengontrol masyarakat. Kebebasan berbicara, beropini dan berkumpul, nyaris tak ada.
Sekelompok individu militer juga ada yang melakukan tindakan yang melebihi batas kepatutan terhadap rakyat yang berani melecehkan Presiden Soeharto. Diakuinya, kehidupan berdemokrasi di era Soeharto, sangat terbatas. Tetapi kententraman di masyarakat dirasakan sangat kondusif.
Lantas siapa atau pihak mana yang harus disalahkan dengan munculnya keberanian rakyat melecehkan Presiden SBY? Terdapat sejumlah analisa dan penilaian. Mulai dari menyalahkan Presiden SBY sendiri, karena sikapnya yang tidak tegas tapi ada juga yang menuding orang-orang kepercayaan SBY yang tidak memiliki kepekaan terhadap situasi.
Di era Soeharto, lanjut sang jurnalis tidak ada situasi yang membuka peluang masyarakat melecehkan Presiden sebab para pembantu Presiden (Menteri) benar-benar bekerja dan membantu Presiden. Setiap gerakan yang muncul di masyarakat, langsung diantisipasi, kemana gerangan arahnya. Sebelum turun hujan para pembantu Presiden buru-buru menyiapkan payung.
Ia memberi contoh pada sikap dua Menteri, Subroto (Menteri Pertambangan) dan Moerdiono (Sekretaris Kabinet/Sekretaris Negara). Kedua Menteri bertugas dan bertanggung jawab atas bidang yang berbeda. Namun koordinasi di antara mereka berjalan sangat lancar, membuat tugas mereka yang berbeda bisa menghasilkan hal yang produktif bagi pemerintahan Presiden Soeharto.
Di era itu, minyak mentah merupakan komoditi terpenting dalam APBN. Lebih dari 50% anggaran yang disusun dalam APBN, sumber pendapatannya berasal dari penjualan minyak mentah.
Setiap awal tahun, minggu pertama Januari, Presiden Soeharto menyampaikan pidato Pengantar Nota Keuangan yang akan menjadi inti dari penyusunan APBN yang berlaku per 1 April. Agar pidato pengantar tersebut sinkron, Menteri Perminyakan dan Moerdiono sebagai penulis pidato, jauh-jauh hari sudah melakukan koordinasi.
Salah satu koordinasi yang dilakukan oleh kedua Menteri adalah memberi input kepada wartawan. Yang dipilih adalah wartawan atau media yang dianggap memiliki kemampuan membuat laporan tentang hal-hal fundamental yang menjadi peran dari penjualan minyak mentah dalam APBN. Hasilnya masyarakat paham tentang konstalasi ekonomi dan pada akhirnya politik. Minim gejolak. Presiden tak pernah disepelekan.
Ada peran ringan tapi penting yang dilakukan Menteri Subroto. Dia memangggil dan berdiskusi dengan seorang wartawan yang melakukan wawancara dengan Dubes RI untuk Jerman Barat, Joseph Muskita. (Ketika itu, Jerman masih terpecah dua : Barat dan Timur).
Dalam wawancaranya, Muskita menyebut ia tidak setuju keputusan pemerintah yang membangun kilang minyak (hydrocracker) dengan teknologi Spanyol. Sebab teknologi Spanyol, kualitasnya kalah jauh dengan teknologi Jerman Barat - negara yang diwakilinya.
Pernyataan itu tergolong kontroversil. Sebab seorang Duta Besar mengoreksi secara terbuka kebijakan Menteri atau pembantu Presiden yang berada di pusat kekuasaan. Tapi yang cukup menarik, berita kontroversil itu segera diredam dengan cara yang sangat elegan oleh Menteri Subroto.
Khawatir, kalau pernyataan itu ada kaitannya dengan sikap sejumlah jenderal di Jakarta yang satu angkatan dengan Joseph Muskita - di mana mereka antara lain sudah membentuk Kelompok Petisi 50, Subroto meminta masukan dari wartawan yang mewawancarai Muskita.
"Apakah Pak Dubes bicara lain disamping hydrocracker?", bertanya Menteri Subroto "Tidak ada pak. Hanya itu", jawab wartawan. "Tolong saya dibantu. Sebab Pak Muskita dengan Jenderal Mokoginta, salah satu penanda tangan Petisi 50, mereka berdua satu korps", jelas Menteri Subroto.
Hanya saja karena si rakyat biasa memiliki keberanian dan kenekadan, kemudian mengklaim sebagai pemimpin atau tokoh masyarakat, maka jadilah si rakyat jelata bagaikan seorang tokoh bangsa yang memiliki kredibilitas dan akuntabilitas. Padahal keberanian dan kenekadan itu tak lebih dari sebuah sikap gertak sambal.
Terakhir yang melecehkan Presiden SBY adalah Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Riziek. Habib yang suka menggunakan baju khas dari Timur Tengah ini menyebut Presiden SBY seorang pecundang.
Habib Riziek bukan satu-satunya pemimpin organisasi massa yang melakukan hal serupa. Tetapi pelecehan Riziek menjadi semacam anti-klimaks sebab setelah itu SBY tidak lagi melayaninya. Hanya orang-orang sekitar SBY yang meladeni Habib Riziek yaitu Menko Polkam dan Sekretaris Kabinet.
Sekalipun sudah mencapai anti-kilmaksnya, tetapi pelecehan terhadap SBY sepertinya tak akan berhenti. Sebab para pelaku pelecehan seperti mendapat amunisi dan enerji baru. Mereka menlai Presiden SBY tidak punya keberanian. SBY tidak seperti yang dimiliki pendahulunya, khususnya Jenderal Soeharto. Hal mana membuat banyak kalangan mulai menarik kesimpulan, kewibawaan SBY sebagai Presiden atau pemimpin nasional telah tergerogoti.
Parahnya lagi, ketika Presiden SBY berusaha menetralisir situasi akibat terjadinya "perang pernyataan", SBY tidak bisa "memenangkan perang" tersebut. SBY terus saja menjadi seorang pecundang.
Sekalipun tidak bisa disebut, SBY sering menjadi "bulan-bulanan" oleh para pelaku pelecehan, tetapi nyata sekali Presiden ke-6 Republik Indonesia ini seperti bukan seorang eks tentara apalagi jenderal bintang empat.
Lazimnya seorang eks militer, bila ada yang berani melecehkannya, ia akan melakukan perlawanan. Seorang jenderal seperti SBY lazimnya tak akan bisa menerima apabila harga dirinya diinjak-injak.
Bagi sang jurnalis tadi, apapun alasannya, pelecehan terhadap seorang Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, merupakan sebuah pengingkaran atas budaya santun dan kekeluargaan dari bangsa Indonesia.
Berbagai literatur maupun penilaian umum tentang Indonesia selalu mengklaim bahwa Indonesia berisikan kelompok masyarakat yang berbudaya tinggi. Salah satu cirinya adalah ketaatan dalam soal saling menghargai antar sesama.
Tutur kata dan sapaan orang Indonesia selalu santun. Ditambah lagi Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk yang taat beragama, serta sikap manusia Indonesia selalu mencerminkan sosok yang mengedepankan kedamaian dan ketentraman.
Adanya pelecehan terhadap SBY yang makin tinggi intensitasnya, membuat sang jurnalis teringat pada masa-masa kepemimpinan Jenderal Soeharto (1966-1998). "Di era Pak Harto, keadaan seperti ini tidak mungkin bisa terjadi...," tutur sang wartawan dalam sebuah percakapan antar sahabat.
Diakuinya, di era Soeharto kontrol pemerintah terhadap rakyat sangat ketat. Militer yang menjadi alat "pemukul" Presiden Soeharto, ikut menjadi pihak pengontrol masyarakat. Kebebasan berbicara, beropini dan berkumpul, nyaris tak ada.
Sekelompok individu militer juga ada yang melakukan tindakan yang melebihi batas kepatutan terhadap rakyat yang berani melecehkan Presiden Soeharto. Diakuinya, kehidupan berdemokrasi di era Soeharto, sangat terbatas. Tetapi kententraman di masyarakat dirasakan sangat kondusif.
Lantas siapa atau pihak mana yang harus disalahkan dengan munculnya keberanian rakyat melecehkan Presiden SBY? Terdapat sejumlah analisa dan penilaian. Mulai dari menyalahkan Presiden SBY sendiri, karena sikapnya yang tidak tegas tapi ada juga yang menuding orang-orang kepercayaan SBY yang tidak memiliki kepekaan terhadap situasi.
Di era Soeharto, lanjut sang jurnalis tidak ada situasi yang membuka peluang masyarakat melecehkan Presiden sebab para pembantu Presiden (Menteri) benar-benar bekerja dan membantu Presiden. Setiap gerakan yang muncul di masyarakat, langsung diantisipasi, kemana gerangan arahnya. Sebelum turun hujan para pembantu Presiden buru-buru menyiapkan payung.
Ia memberi contoh pada sikap dua Menteri, Subroto (Menteri Pertambangan) dan Moerdiono (Sekretaris Kabinet/Sekretaris Negara). Kedua Menteri bertugas dan bertanggung jawab atas bidang yang berbeda. Namun koordinasi di antara mereka berjalan sangat lancar, membuat tugas mereka yang berbeda bisa menghasilkan hal yang produktif bagi pemerintahan Presiden Soeharto.
Di era itu, minyak mentah merupakan komoditi terpenting dalam APBN. Lebih dari 50% anggaran yang disusun dalam APBN, sumber pendapatannya berasal dari penjualan minyak mentah.
Setiap awal tahun, minggu pertama Januari, Presiden Soeharto menyampaikan pidato Pengantar Nota Keuangan yang akan menjadi inti dari penyusunan APBN yang berlaku per 1 April. Agar pidato pengantar tersebut sinkron, Menteri Perminyakan dan Moerdiono sebagai penulis pidato, jauh-jauh hari sudah melakukan koordinasi.
Salah satu koordinasi yang dilakukan oleh kedua Menteri adalah memberi input kepada wartawan. Yang dipilih adalah wartawan atau media yang dianggap memiliki kemampuan membuat laporan tentang hal-hal fundamental yang menjadi peran dari penjualan minyak mentah dalam APBN. Hasilnya masyarakat paham tentang konstalasi ekonomi dan pada akhirnya politik. Minim gejolak. Presiden tak pernah disepelekan.
Ada peran ringan tapi penting yang dilakukan Menteri Subroto. Dia memangggil dan berdiskusi dengan seorang wartawan yang melakukan wawancara dengan Dubes RI untuk Jerman Barat, Joseph Muskita. (Ketika itu, Jerman masih terpecah dua : Barat dan Timur).
Dalam wawancaranya, Muskita menyebut ia tidak setuju keputusan pemerintah yang membangun kilang minyak (hydrocracker) dengan teknologi Spanyol. Sebab teknologi Spanyol, kualitasnya kalah jauh dengan teknologi Jerman Barat - negara yang diwakilinya.
Pernyataan itu tergolong kontroversil. Sebab seorang Duta Besar mengoreksi secara terbuka kebijakan Menteri atau pembantu Presiden yang berada di pusat kekuasaan. Tapi yang cukup menarik, berita kontroversil itu segera diredam dengan cara yang sangat elegan oleh Menteri Subroto.
Khawatir, kalau pernyataan itu ada kaitannya dengan sikap sejumlah jenderal di Jakarta yang satu angkatan dengan Joseph Muskita - di mana mereka antara lain sudah membentuk Kelompok Petisi 50, Subroto meminta masukan dari wartawan yang mewawancarai Muskita.
"Apakah Pak Dubes bicara lain disamping hydrocracker?", bertanya Menteri Subroto "Tidak ada pak. Hanya itu", jawab wartawan. "Tolong saya dibantu. Sebab Pak Muskita dengan Jenderal Mokoginta, salah satu penanda tangan Petisi 50, mereka berdua satu korps", jelas Menteri Subroto.
Setelah yakin bahwa pernyataan Dubes Muskita, murni soal hydrocarcker, pernyataan itu pun tidak lagi dipersoalkan. Walaupun tidak lama kemudian, Muskita dipanggil pulang dari Bonn, ibukota Jerman Barat.
Dalam pemerintahan Presiden SBY, kita tidak menemukan sosok Menteri yang memainkan peran seperti Subroto dan Moerdiono. Menteri-Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu periode kedua, sebetulnya banyak yang pintar. Mereka juga punya rujukan bagaimana menjadi Pembantu Presiden yang benar dan efektif. Tetapi entah mengapa hal itu tidak dirasakan masyarakat.
Kita punya Menko Polkam, tapi yang kita rasakan, kementerian ini tidak ikut menciptakan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari. Politik yang juga menjadi tanggung jawabnya, semakin amburadul. Yang terjadi Menko Polkam lebih sering tampil seperti menteri yang lemah gemulai. Lebih galak Menteri Agama dari pada Menko Polkam.
Dan yang cukup mengejutkan sikap atau peran Sekretaris Kabinet. Sikap Sekretaris Kabinet Dipo Alam lebih banyak mengingatkan perangainya sebagai aktifis mahasiswa. Yang senang berkonfrontasi. Akibat dari semua ini, antara lain Presiden yang terkena getah. Enak tenan jadi Menteri di zaman pemerintahan SBY.
Dalam pemerintahan Presiden SBY, kita tidak menemukan sosok Menteri yang memainkan peran seperti Subroto dan Moerdiono. Menteri-Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu periode kedua, sebetulnya banyak yang pintar. Mereka juga punya rujukan bagaimana menjadi Pembantu Presiden yang benar dan efektif. Tetapi entah mengapa hal itu tidak dirasakan masyarakat.
Kita punya Menko Polkam, tapi yang kita rasakan, kementerian ini tidak ikut menciptakan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari. Politik yang juga menjadi tanggung jawabnya, semakin amburadul. Yang terjadi Menko Polkam lebih sering tampil seperti menteri yang lemah gemulai. Lebih galak Menteri Agama dari pada Menko Polkam.
Dan yang cukup mengejutkan sikap atau peran Sekretaris Kabinet. Sikap Sekretaris Kabinet Dipo Alam lebih banyak mengingatkan perangainya sebagai aktifis mahasiswa. Yang senang berkonfrontasi. Akibat dari semua ini, antara lain Presiden yang terkena getah. Enak tenan jadi Menteri di zaman pemerintahan SBY.
Sumber : http://forum.tribunnews.com/showthread.php?7161205-Mengapa-Sering-Terjadi-Pelecehan-Presiden-SBY
Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi Developers Blogger. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.